Kamis, 09 Juni 2011

TURI TURIAN

MULAK MA HO AMANG
Michael Siregar
Ompu ni Jonggara Napitupulu menghapus air mata yang merembes di kelopak matanya, mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Eddy Silitonga yang bercerita tentang penyesalan orang tua atas kemarahannya yang berlebihan, mengakibatkan anaknya merantau dan tak pernah memberi kabar atau pun pulang menjenguknya.

“Bah inum kopimi Ompung… so sanga ngali annon…” (minumlah kopinya kek… nanti keburu dingin) tiba tiba yang empunya kedai kopi menyadarkannya dari lamunannya.
Setiap pagi Ompu ni Jonggara duduk minum kopi di warung “sikomatu” ini (siang kopi malam tuak) menunggu hari agak siang. Semenjak dia mengidap penyakit rheumatik, dia tidak bisa lagi pergi kesawah terlalu pagi karena dinginnya air sawah membuat persendian tulangnya serasa nyeri bagai ditusuk jarum. Tiap pagi dia hanya nongkrong sambil minum kopi menunggu sang mentari menghangatkan bumi. Untunglah nyonya Napitupulu boru Sianipar pemilik lapo tak pernah mau menerima uang darinya, mungkin karena merasa masih saudara atau mungkin perasaan kasihan kepada beliau yang hidup sebatang kara digubuk tuanya.
“Eh… olo itonan… songon na tabo lagu i hubege… ulakhon jolo bah (Eh iya… lagunya berkesan… tolong diulang lagi) Ompu ni Jonggara sedikit tersentak.
“Imada, ai baru dituhor pahompum nantoari… alai dang adong vicidina holan kaset do…” ( iya baru dibeli cucumu kemaren… tetapi tidak ada VCDnya hanya kaset) nyonya Napitupulu menerangkan, samabil merewind ulang kaset yang sedang diputar, kembali ke awal lagu.
Mengalunlah kembali suara Eddy Silitonga menyanyikan lagu :
Molo tung namuruk ma au na uju i
Molo tung marrimas ma au na salpu i
Ai satokkin do Amang muruk ni rohakki
Hu solsoli do Amang salpu ni hatakki
Alai boasa ma manibbas langkam i
Ai tung boasa ma lupahononmu au
Asi roham tu au naung matua on
Ai tung ro maho mandulo au Amangmon
Marsahit sahit au naung suda gogokki
Manakkar nakkar au dung monding inang mi
Pulutt ni rohami mangalupahon au
Atik na on nama ujung ni ngolukkon
Reff:
Aut na boi tarbahen au
lao manjururi hutami
Taontononhu do lao mandapothon ho
Asa huida bohimi anak hasianhu
Asa huhaol ho gomos….
Kalaupun saya marah dahulu
Kalaupun saya emosi dahulu
Kemarahan hati saya Cuma sekejap
Saya menyesal ucapan saya yang terlalu
Tetapi mengapa kamu nekad pergi
Mengapa kamu melupakan saya
Kasihanilah saya yang telah renta
Datanglah menjenguk ayahmu
Saya sakit sakitan kehabisan tenaga
Sebatang kara setelah ibumu meninggal
Teganya hatimu melupakan saya
Mungkin inilah akhir hidupku
Reff
Seandainya saya mampu
untuk menjalar ketempatmu
Akan kupaksakan untuk menemuimu
Agar kumelihat wajahmu anakku sayang
Agar ku memelukmu dengan erat
***
Ompu ni Jonggara kembali mengusap airmatanya dengan punggung lengannya. Kembali terbayang di pikirannya, anak laki lakinya yang saat itu baru berumur 15 tahun, seorang remaja tanggung yang seharusnya masih duduk di bangku SMP. Dia melarikan diri merantau entah kemana… setelah dia mengusirnya dari rumah, saat itu dia tidak mengakui lagi sebagai anak karena kenakalannya.
Memang kenakalan Timbul sangat keterlaluan. Ya, Timbul Pandapotan, nama yang dia berikan kepada putranya itu ketika lahir, yang berarti terbit atau bangkitlah pendapatan dalam segala hal, baik materi maupun kesejahteraan.
Sejak kecil dia sudah berani mencuri uang maupun barang barang milik kakaknya, bahkan anak anak sekolah yang banyak kost di daerah Sakkar Ni Huta, kampungnya tidak luput dari incarannya. Sudah tidak terhitung lagi kepala lorong (semacam RT) Sakkar Ni Huta mendatangi rumahnya, menuntut kelakuan Timbul yang selalu berbuat onar.
Ompu ni Jonggara pun sudah beberapa kali harus membayar atau mengganti Ayam, Telor Ayam, Entok, bahkan anak Babi yang di curi Timbul dengan teman temannya. Yang lebih merusak perasaan Ompu Jonggara adalah ketika Timbul pergi kerumah Tulangnya Silalahi di Sibodiala, dipuncak Dolok Tolong.
Hula hulanya itu datang berjalan kaki berjam jam, dari Sibodiala, karena memang saat itu hanya jalan kakilah transportasi satu satunya ke Sibodiala, walaupun letaknya tidak begitu jauh dari Soposurung Balige. Mereka menyampaikan keluhannya bahwa Timbul mencuri anak Babi milik parhangir GKPI Sibodiala, juga bermarga Silalahi. Timbul dan kawan kawan memanggangnya di tengah sawah dan memakannya beramai ramai.
Kedatangan Hula hulanya sangat membuat perasaan Ompuni Jonggara patah arang, maklum bagi orang Batak, Hula hula (pihak keluarga istri) adalah sumber pasu pasu (berkah), sehingga dia benar benar emosi dan putus asa. Dia menunggu Timbul pulang ke rumah dengan hati yang membara, tak ada kata maaf lagi darinya.
“Holan na pailahon do ho tu au, holanna paurakkon… sonnari pe lao maho sian jabu on… lao maho maup….” (kamu hanya membuat saya malu, membuat tercemar… sekarang pergilah dari rumah ini… pergilah kamu kemana saja)
“Mulai sadarion… huetong ma ho naung tilahakku…!!!” (mulai hari ini kamu kuanggap sudah mati) Ompu ni Jonggara membentak putra satu satunya itu dengan emosi, ketika Timbul pulang sore harinya.
Dia tidak memperdulikan lagi tangisan Istri dan anak perempuannya memohon agar dia merubah keputusannya, juga tetangga yang masih ada hubungan kerabat sudah tidak didengarnya. Ompu ni Jonggara memungut pakaian Timbul seadanya dan melemparkannya ke halaman.
Hari telah menjelang malam. Timbul melangkah tak pasti sambil memeluk pakaiannya seadanya diiringi tangisan Ibu dan dua orang Itonya.
Ke esokannya, Ompu Jonggara sudah bangun pagi pagi, hatinyapun sudah reda. Dia mengira bahwa Timbul tidak akan kemana mana, paling paling dia menompang tidur di rumahnya Marlon Hutabarat anak Hutabarat polisi, tetangganya. Ketika dia bertemu dengan Marlon dia bertanya; “Ai na di jabumuna do modom si Timbul, Marlon…?” (apakah si Timbul tidur di rumah kalian)
“Daong Tulang, ai naeng lao do ibana mangaranto ninna…” (tidak Paman, katanya dia akan pergi merantau) sahut Marlon Hutabarat sahabat Timbul.
“Bah… boasa pola pittor lao ibana… tu dia ninna tujuanna…?” (Wah… kenapa dia langsung pergi… kemana katanya tujuannya) Ompu ni Jonggara bertanya, dia merasa sedikit was was.
“Ai ima da Tulang, ala na nidok ni Tulangi naung tilaha ni Tulang ibana, gabe palungunhu rohana ninna, alai ibana pe dang diboto tu dia tujuanna Tulang” (itula paman karena paman mengatakan dia dianggap sudah mati… dia merasa sangat sedih, tetapi diapun tidak tau hendak pergi kemana), Marlon menerangkan.
Mulai hari itu Timbul menghilang bak ditelan bumi, tidak ada satu orang pun yang tau kemana dia pergi. Baru setelah tiga puluh tahun kemudian ada orang yang bercerita kalau Timbul ada di Batam dan menjadi orang yang sangat sukses, seorang pengusaha terkenal, export import dari Singapura. Ada sebagian orang mengatakan kalau Timbul adalah parsimokkel kelas kakap dan punya kapal sendiri.
Namun semua itu tak dapat mengurangi kesedihan Ompu ni Jonggara, karena dia belum melihat bagaimana wajah anak nya yang telah lama tidak kembali, bahkan suratpun tidak ada sama sekali.
Ada orang yang mengabarkan bahwa Timbul sudah menikah dan punya anak. Seharusnya dia tidak lagi dipanggil Ompu “ni” Jonggara. Harusnya dia dipanggil Ompu…, sesuai nama anak Timbul. (kalau cucu dari anak perempuan pakai “ni” di tengah tengah misal Ompu ni Radot, Ompu ni Sahat, kalau dari anak laki laki hanya nama misalnya Ompu Lambok, Ompu Jogal).
Ompu ni Jonggara sudah berpuluh kali menyampaikan pesan dan surat melalui orang orang Balige yang pulang dari Batam, tetapi tak ada kabar balasan. Dia sangat ingin menemui anaknya itu. Ingin menyampaikan penyesalannya, ingin membelai wajahnya, ingin memeluknya dan juga ingin memeluk cucu panggoarannya. Tetapi apa daya, dia sudah sakit sakitan, tak punya cukup uang untuk ongkos, sementara dua orang putrinya pun hidup pas-pasan sebagai buruh tani.
Nai Jonggara tinggal di Silaen, menjadi petani, sementara sawah yang dikelolanyapun milik orang lain, bukan miliknya. Nai Lambok tinggal di Gasaribu, juga buruh tani, sambil berdagang ikan Jahir di pasar Sirongit, itupun tidak setiap hari karena akhir-akhir ini ikan mujahirpun seolah mogok makan sehingga kurus kering kurang vitamin.
Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada dua orang putrinya itu, perasaannya hanya diungkapkan dengan mangandung menangis sambil memeluk makam istrinya yang ada dibelakang rumahnya, hampir setiap hari.
“Bah gabe tangis ho Oppung ala ni lagu i…” (Wah kakek menjadi menangis karena lagu itu) Boru Sianipar kembali menyadarkannya dari lamunan.
“Ima da… gabe huingot si Timbul… ai tung na adong do nuaeng di ae jolma na asing songon lagu on ?, ate ito…” (ya itulah saya jadi teringat si Timbul… apakah mungkin ada orang lain yang mengalami seperti isi lagu ini?) Ompu Jonggara menyahut sambil menghapus air matanya.
“Martangiang ma ho Ompung… pos roham mulak doi…” (berdoalah kakek… percayalah dia akan pulang) Boru Sianipar berusaha menenangkan, walaupun hatinya tak yakin.
Empat hari kemudian Ompu ni Jonggara ditemukan telah meninggal di rumah “sopo”-nya oleh Boru Sianipar pemilik Lapo. Sudah berhari-hari dia tidak muncul di Lapo, Boru Sianipar jadi curiga lantas menyelidik kerumah Ompu ni Jonggara. Yang ia temukan adalah seonggok tubuh yang telah menjadi mayat, terbujur kaku di bale-bale bambu “Bulu Godang” buatannya sendiri.









APA YANG KAMU LAKUKAN, TIMBUL ?
Judul Asli : MULAK MA HO AMANG 2
Michael Siregar
Timbul Pandapotan Napitupulu MBA, begitu tertulis di atas meja kerja yang terbuat dari kayu jati yang keras dan mahal didalam ruangan berukuran delapan kali sepuluh meter itu.

Di sudut ruangan ada lemari kaca transparan yang berisi berbagai merek minuman keras yang berharga mahal seperti, Hennessy XO, Cognag MARTELL, Bourbon, Red Label, Blue label dan Calvados. Ditengah ruangan ada meja jati berukuran luas untuk keperluan meeting. Di sebelah kiri ada sofa yang empuk berbalut kulit dari Italy.
Timbul sedang asyik mengkalkulasi keuntungan yang akan diperoleh perusahaannya bulan depan yang akan berlipat. Dia baru saja membuka sebuah pabrik di daerah Muka Kuning Batam.
Telepon dari sekretarisnya berdering, melaporkan ada tamu seorang wartawan dari sebuah majalah dan surat kabar terbitan Medan. Seperti biasa sekretarisnya harus mengkonfirmasi terlebih dahulu sebelum tamu menemui Timbul.
“Bah… Horas Tulang…”, Amrin Simatupang sang wartawan menyapa.
“Bah..Horas, horas… songon na ro ho bere, apala aha na porlu…?!”, Timbul menyapa dengan akrab, Timbul sangat senang mengobrol dengan Amrin, karena beliau ini sangat pintar mengkilik-kilik perasaannya. Maklumlah bagi sipanggaron seperti Timbul sangat membutuhkan sosok parsarune buluseperti Amrin.
“Dang pola na dia Tulang… tentang pabrik ni Tulang on do… asa binaen nian baritana di Majalah Bonapasogit dohot di Harian Medan Pos, asa di boto angka par-hitaan naung mamora Tulang di son…”, Amrin menyatakan keinginannya mempublikasikan kehebatan Timbul seiring dengan dibukanya sebuah pabrik.
“Boi do i bah…, memang jago do ho bere pasonang roha ni Tulangmu…. beres ma annon anggo pasi sigaretmu….”. Timbul menyambut rencana Amirin dengan bersemangat, membayangkan semua orang di Balige dan Sangkar ni Huta akan membicarakan keberhasilannya di lapo lapo, langsung kambang birrik birriknya.
Amrin pun tersenyum cerah. Dia sudah membayangkan berapa kira-kira pasi-sigaret yang akan dia terima. Tempo hari hanya menyebutkan sekilas saja nama Timbul di koran dia sudah dapat ang-pauw yang cukup lumayan. Sekarang akan memuat artikel penuh dan di dua Media… “Mangallangi ma au…”, begitu kata hatinya.
Mereka berdiskusi panjang lebar tentang apa yang akan di muat di dalam artikel itu, tentunya pada garis besarnya semua hal-hal yang menyebutkan kehebatan Timbul. Amrin pun tidak pernah menanyakan akan asal usul gelar MBA yang tercantum dibelakang nama Timbul. Sebenarnya dia tau kalau Timbul hanya tammat SD, SMP tidak dirampungkannya karena keburu merantau setelah diusir oleh Ayahnya akibat kenakalannya.
Amrin mencatat semuanya apa yang Timbul inginkan harus disebutkan di artikel itu. Tentunya bagi wartawan parsarune bulu seperti Amrin, semuanya sah-sah saja. Semua bisa diatur asal ada ongkosnya. “Hepeng do mangatur negara on”, begitu prinsipnya. Hal itulah yang selalu membuatnya bertentangan dengan Almarhum Albert Situmorang seorang Wartawan senior Harian SIB dan Kompas.
Setelah mereka selesai membuat draft tulisan, Amrin berpamitan, tentunya setelah menerima selembar cek yang nominalnya mampu membuat Amrin menahan napas.
“Bah…ai godang ma on Tulang….” , kata Amrin berbasa basi seolah kaget yang diterimanya terlalu banyak, tetapi langsung memasukkan ke kantong bajunya sebelum Timbul meminta kembali.
“Ah… ai ho nian bere… sadia ma i… molo jago do suratanmi hutambai pe muse…”, Timbul merasa enteng memberi uang sebanyak itu, dan berjanji akan menambah lagi untuk memastikan bahwa missinya menaruh berita tersampaikan.
“Adong ulaonmu bodari Bere..? molo aha asa dongani Tulang marmitu”, Timbul minta kepastian apa ada pekerjaan Amirin nanti malam, agar bisa diajak menemaninya minum minum.
“Bah… ai anggo Tulang do manogihon sadihari pe siap do iba…”. Amrin menyatakan kesediaannya dengan mata berbinar.
Siapa yang tak mau pergi bersenang senang dengan konglomerat, pergi ke High Class Club, VIP member, dikelilingi wanita wanita cantik….
“Ise nasongon au… tombus na marjalang i…” Siapa yang bisa seperti saya… perantauanku berhasil, kata hati Amrin.
Dia mengingat beberapa waktu lalu, Timbul mengajaknya menemani bermain judi di Hotel Grand Hyatt Batam, di basementnya ada Casino terselubung, yang hanya orang orang tertentu yang dapat masuk kedalamnya, bahkan peraturan Sutanto pun tak berlaku disana.
Siapa yang tak mengenal Timbul di daerah Nagoya, pusat segala hiburan di pulau Batam, tempat Night Club dan segala macamnya, tempat mengumpulnya Cukong Cukong Singapore berburu ABG.
Timbul memang suka bermain judi, sambil dikelilingi oleh wanita wanita cantik, bahkan ahir-ahir ini seleranya pun meningkat, dia hanya ingin ditemani oleh wanita wanita bule. Kebanyakan dari daerah pecahan Rusia seperti Uzbekistan. Bagi Timbul, negara asal tidak masalah yang penting bule.
Dua minggu kemudian Timbul menerima Majalah dan Koran yang memuat berita tentang keberhasilan dirinya itu dari Amrin. Timbul langsung membacanya, dia merasa puas akan isi berita tersebut, persis seperti yang di inginkannya, menonjolkan semua keberhasilannya.
“Memang jago do ho bere pasonang roha ni Tulangmu bah… asa di boto parhitaan… dang si Timbul najolo be Au… si Timbul namora i nama on…” (memang kamu hebat kamu menyenangkan hati Pamanmu… agar orang orang Kampung mengetahui… saya bukan si Timbul yang dahulu lagi… sekarang saya adalah si Timbul yang kaya raya) Timbul menyatakan kepuasannya atas tulisan Amrin dikedua media tersebut.
“Ai sadihari be patuduhonon ni tulang anggo dang saonnari… ai tulang nama nomor sada ni konglomerat halak Batak di Indonesia on…” (kapan lagi Paman akan memamerkannya kalau bukan sekarang… sekarang ini Paman adalah nomor satu konglomerat orang Batak di Indonesia…) Amrin kembali memuji Timbul, membuat Timbul mabuk pujian, semakin kambang birrik birriknya.
“Tetapi ada ideku lagi Tulang… supaya Tulang lebih terkenal lagi…”, Amrin melanjutkan.
“Apa itu..?!,” Timbul langsung tertarik.
“Begini Tulang…, di Toba sekarang sedang musim orang membuat tugu satu Ompu. Sudah banyak kali pun orang orang kaya dari Jakarta membuat tugu. Mereka mengadakan pesta yang meriah, padahal kekayaan mereka tak ada apa-apanya dibandingkan Tulang”, Amrin memasang jebakan.
“Jadi maksudmu..?”, Timbul masih belum mengerti.
“Ya Tulang bangunlah tugu yang lebih hebat… lalu di undang semua Marga Napitupulu untuk menghadiri peresmiannya, jadi semua mereka tau dan kenal sama tulang”, Amrin tersenyum didalam hati, karena kelihatannya Timbul termakan pancingan. Tetapi dilihatnya ada keraguan pada diri Timbul.
“Kalau dulu saya lihat orang paling hebat cuma mengundang Camat Balige untuk meresmikan tugu, kalau kita harus Bupati Tulang… kalau perlu Gubernur…”, Amrin semakin merasuk rayuannya, dasarparsarune bulu.
“Boleh, boleh itu… kalau soal Gubernurnya kuatur pun itu… hepeng do mangatur negara on…” Timbul benar benar terpancing egonya.
“Tapi kalau kita membangun, jangan tanggung tanggung, harus lebih hebat dari semua tugu yang pernah ada…. kalau perlu arsiteknya harus dari Bali, harus orang terkenal…”. Timbul bersemangat.
“Tetapi kalau begitu Tulang… biayanya nanti sangat Mahal…”, Amrin berusaha menggelitik ego Timbul.
“Bah…jangan kau singgung sama aku masalah biaya… berapapun tak masalah…!”, Timbul menegaskan.
“Agai amang tabo nai… mangallangi nama au… anggo on pe tombus namarjalang i…” (waduh bapak enaknya… makan besar saya… kalau begini berhasillah perantauanku…), Amrin tersenyum dan berkata dalam hatinya.
“Begini saja… mulai besok kau mulailah mencari arsitek yang hebat dari Bali… kau aturlah semua… kaulah pelaksananya….”, Timbul memberi tugas langsung pada Amrin. Ini sudah diduganya.
“Apala holan mangombak adong tarbirsak gambo tu pamangan, apalagi ma hepeng mar milliyar…” (memacul sawahpun akan terpercik lumpur ke mulut… apalagi proyek milliyaran..) Begitu prinsip Amrin.
Dengan semangat Amrin sibuk menghubungi para Arsitek, juga orang orang yang akan mensuplay bahan-bahan untuk pembuatan tugu, tentunya dengan potongan uang taba taba sekian persen.
Tugu yang di bangun Timbul itu memang sangat megah dan indah. Maklum, arsiteknya dari Bali, seorang arsitek yang cukup terkenal. Bahkan para pembuat ukir ukiran patungnya pun dari Bali. Tenaga tukang dari Balige hanya sebagai pembantu, sebagai tukang kocok semen.
Saran saran dari petukang Balige yang berpengalaman dan tau adat Batak itu tidak diindahkan. Ketika mereka mengatakan bahwa tidak baik membuat anak tangga yang berjumlah genap karena itu adalah symbol keluarga “Hatoban”, seharusnya mesti ganjil, milik para Radja, mereka tak menghiraukan.
***
Semenjak dari awal pendirian tugu, nyonya Napitupulu boru Sianipar, cuma geleng geleng kepala, sedikitpun dia tak merasa tertarik. Dia juga tak mau mengomentari ketika orang orang Sakkar ni Huta membicarkan keberhasilan Timbul dan kemegahan tugu yang di bangunnya, di laponya. Dia tak bisa melupakan pemandangannya ketika dia menemukan mayat Ompu ni Jonggara ayahanda Timbul yang telah kaku dengan posisi membungkuk di atas balai-balainya sudah mulai bau. Yang lebih parah lagi karena posisinya yang membungkuk, penduduk desa sangat kesulitan memasukkan mayat Ompu ni Jonggara kedalam abal-abal buatan Amang Sintua Siahaan Par-Sibulele. Mereka tak tega menekan atau menarik terlalu keras, karena takut mungkin ada bagian tubuh yang akan patah. Memang dia sudah tidak merasakan lagi, tetapi tetap saja tidak tega.
Boru Sianipar juga masih mengingat bagaimana sedihnya perasaannya bila melihat Ompu ni Jonggara meringis menahan sakit dikala penyakit rheumatik dan maagnya kambuh. Dia tak dapat berbuat banyak, mau membawanya berobat ke dokter dia pun kesulitan sebab dia juga harus membiayai sekolah anak anaknya. Membawa Ompu ni Jonggara berobat ke Rumah sakit Balige… lebih parah lagi, sebab Rumah Sakit milik HKBP ini yang nota bene, dibiayai oleh Persembahan durung-durung dan iyuran tahunan ruas (masyarakat umum) ternyata tak bisa diandalkan. Masyarakat HKBP memberikan durung-durung dan iyuran tahunan dengan ikhlas dan tanpa pamrih, tetapi ketika uang itu sampai ditangan Yayasan Rumah Sakit, mereka tak pernah ikhlas memberi pelayanan tanpa bayaran. Tak ada tempat bagi si miskin.
Pada waktu peresmian tugu, pembukaan acara sangat meriah, dihadiri beberapa pejabat. Music pengiring dari Jakarta, ada penyanyi penyanyi ibu kota yang tampil menghibur.
Pesta diadakan selama dua minggu nonstop, siang dan malam siapa saja boleh makan sepuasnya, boleh minum bir sepuasnya. Untuk kebutuhan ini setiap saat truk dari produsen bir siap mengantar kapan saja.
Setiap orang yang mau manortor mesti di beri saweran uang. Benar benar pesta yang fantastis. Ketika malam tiba penyanyi ibu kota menghibur bergantian. Tidak lupa beberapa gadis bule yang cantik cantik “Rekan Bisnis” Timbul berjoged dansa, disco, cha cha diatas pentas.
Masyarakat benar benar menikmati pertunjukan dan limpahan uang mendadak yang mereka dapat dari pesta ini. Mereka tak segan-segan berkata pada Timbul : “Ah… ho do na toho namarjalang i bah…. ho nama naummora di halak hita…” (andalah yang paling berhasil di perantauan… andalah yang terkaya di tengah orang Batak). Mendengar ini Timbul semakin kambang birrik birriknya.
Hanya satu keluarga yang tidak pernah tampak di pesta itu, boru Sianipar Parlapo.
Ada beberapa orang mengajaknya. “Bah beta… na masi hepeng on… ai holan sahali mangurdot nungnga dapotan hepeng…” ( marilah… mendapatkan uang… sekali berjoget saja sudah di beri uang… )
Boru Sianipar Cuma berkata : “Hamu ma tusi… dang tarpaida-ida au angka engkel muna i… Sai huingot natua-tua i nahinan… hansit nai ditaon….” (kalianlah ke sana… saya tak sanggup melihat tawa kalian… saya jadi teringat pada Almarhum… betapa sakit penderitaannya… )
Ketika malam terahir pesta itu, suara music yang hiruk pikuk dari pengeras suara, orang orang desa berpesta pora… uang berhamburan ditengah pesta sangat meriah. Boru Sianipar duduk sendiri dilaponya, semua pintu sorong laponya sengaja ditutup. Dia merenung, tak bergairah melayani pembeli.
Anehnya selama pesta berlangsung alam seolah olah protes, tak bersahabat. Hari selalu mendung dan hujan turun setiap hari, tak biasanya seperti ini.
Boru Sianipar duduk di bangku panjang laponya, disudut sambil bersandar. Dia teringat kembali pada Ompu ni Jonggara semasa hidupnya. Beliau yang sudah dianggapnya sebagai kakek kandungnya sendiri, sebatang kara menahan derita, tak ada yang perduli. Bahkan meninggal pun tak ada yang melihatnya. Ketika itu, seandainya dirinya tak penasaran atas ketidak munculan Ompu Jonggara di lapo, mungkin sampai beberapa lama tak ada yang mencarinya hingga membusuk.
Sekarang, setelah dia meninggal, jasadnya pun tak bisa tenang. Harus digali dari kuburnya. Tulang belulangnya diangkat, dimasukkan kedalam peti kecil terbuat dari kaca, sebagai pajangan agar semua orang bisa melihat tengkoraknya tanpa daging.
“Sonang ma ho di lambung ni Tuhan i Ompung…… dang adong be nahurang mu….” (Berbahagialah dirimu di sisi Tuhan Kakek…tak ada lagi yang kurang padamu….), boru Sianipar berbisik sambil menengadah kelangit. Tak terasa airmatanya telah membasahi pipinya.



Sabtu, 09 April 2011

Renungan

Tinting hamauliateon………
Robinson Siburian.
Marragam do angka hagiot ni daging di angka na tua tua naparjolo di Huta nami BTB Muara. Ima angka Hagiot naso pola domube tu roha ni angka dongan ama nuaeng, tarsongon angka namaronan, anggo angka ama halak hita sinuaeng tung nalosok hian do rohana lao mangihuthon, manang holan manaruhon pardi jabuna lao tu onan, tu magon do marnonang dohot angka dongan na ama di lapo.

Alai andul do tu na adong sada ama ama na di Huta nami na parjoloi songon pangalaho ni ompu Hapodea dohonon : sai di hasomalhon ompu ni si Hapodea dolion do ibana laho maronan, manggadis hasil ni suan-suanan na, dohot manuhor angka na porlu di rumatangga na painte masa onan saminggu nai.
Songoni ma sada tingki ( Jumat onan di Balige) Borhat do ompu ni si Hapodea doli maronan tu Balige mamboan boniagana, Hatop do antong lakku boniaga ni ompu si Hapodea doli jala hatop ibana manuhor angka situhoron na, gambas, minyak lampu, minyak makan dohot timbahona / harotas parisapan hasoloman ni rohana.

Di na mulak ibana sian onan Balige sahat ma toho di tao ni tarabunga ro ma udan naso hasaongan, dohot alogo marhaba-haba jala laos menggol-enggol makapal dalan nai di luahon umbak na gogoi pola do naeng lonong kapali, songoni angka panompang ni kapal I masa ma angka angguk bobar, adong na martangiang, adong na marende huria mangido tu Tuhani asa di pasohot nian alogo haba-haba I . songoni do ompu ni sia Hapodea doli martangiang tu Tuhan I, jala marjanji do ibana di bagasan tangiang na : MOLO PALUA ON MU DO AHU SIAN PARMARAAN ON TUHAN, ANGGO HORBONGKU TUNGGAL NA SASADAI BAHENON HU MA I GABE PELEAN NAHUSSUS DI JOLOM.ima janji ni ompu si Hapodea doli di tangainang na ala toho adong sada horbo na tunggal. Dung sahat ompu ni Hapodea doli di bagas na pola do logam-logam on ibana marningot parmaraan na masa andorang di kapal dope nasida di taoni tarabunga.
Di paboa ma tu ompu ni si Hapodea boru angka namasa I dungi di jomput ompu ni Hapodea boru ma boras pir tu si manjujung na jala huhut di dok pir ma tondi ni parhalangulunghon, daoma songgot-songgot ninna ompu ni Hapodea boru . dung simpul na manjomput boras pir tu ma simanjujung ni ompu Hapodea doli didok ibana ma tu ompu si Hapodea boru :
Inang, nangkaning di masa parmaraan I marjanji do ahu di bagasan tangiang hu anggo horbonta tunggal nasasada I bahenota ma I gabe pelean na hussus diadopan I Tuhani marhite-hite huriana.
Ompu ni Hapodea boru mangalusi : bah ……. Ai tudihani Tuhan I horbo mi huroa??
alai nang pe songoni ala naung marjanji ho tu Tuhani ahu pe annon manggadis horbonta I tu Balige , dohot pasahathon hamauliateon ni rohanta tu hurianta ala naung di palua Tuhan I ho sian parmaraan.
Dung jumpa arionan jumat tibu do di togu ompu ni Hapodea doli horbo na I tu kapal laho gadis on ni inanta annon tu Balige nina rohana, jala sian naso pamotoanna ditangkup ompu ni Hapodea boru do sada jambe nabolon, mira sialtong diboan ma I tu onan Balige. Dung sahat tu onan Balige ro ma tokke horbo mangarga horboni ompu Hapodea boru, ai sadia ma inang argani horbo muna on ??
Ompu si hapodea boru: Ia horbonghon amang ingkon sahali manggadis do on dohot manuk jambe na bolon on, horbo on argana amang RP 150.000,- do, alai jambek hu na bolon on argana RP 8.000.000,- ma ninna ompu Hapodea boru.
Jadi songoni ma argani na sapaket I, dioloi tokke horbo I ala nunga mura di rohana dipasaut tokkei ma I lengkap dohot kwitansina ; HORBO TUNGGAL RP 150.000,- DOHOT JAMBE NA BOLON RP 8.000.000,- . Las rohani ompu Hapodea boru ala naung lakku boniagana, jala hohom ma ibana laho tu bagas pangula ni huria pasahathon hamauliaateon keluarga ni ompu Hapodea.
Dapot ari mingguna martinting ma si jaha tinting di gareja :
DI JALO HURIANTA DO HAMAULIATEON SIAN KELUARGA NI OMPU HAPODEA, ALA MALUA NASIDA SIAN PARMARAAN GODANG NA SADA ARGANI HORBO TUNGGAL RP 150.000,-
OMPU HAPODEA DOLI ?????????$$#$#%%%%%
RUAS ????????????????#####%%%%%%%

Kamis, 07 April 2011

Anekdot, lucu-lucu

Ada sebuah cerita: Didalam Bis Antar Kota seorang ibu muda yang sangat cantik sedang menyusui bayinya. Minum sebentar terus berhenti lagi hingga sang ibu kesal! Sang ibu berusaha terus menerus agar si bayi mau minum sambil berkata: "Ayo Nak... minum susunya donk, nanti tak kasih Om yang disebelah lho!" Katanya agak berbisik namun si Pemuda masih bisa mendengarnya! Akhirnya si bayi pun mau juga minum, namun cuman sebentar. Lalu Ibu muda itu berkata lagi: "Benaran lho ya, saya kasih Om disebelah ya?" dan akhirnya sang bayi pun mau minum juga namun tetap saja cuman sebentar. Begitulah berulang-ulang kejadian antara si Ibu dan si Bayi. Akhirnya pemuda yang di sebelah ibu tadi pun menjadi kesal dan berkata: "Ibu! Yang benar donk! Dikasih apa tidak? Seharusnya tadi saya sudah turun di terminal sebelumnya!!!" Si Ibu dan Bayi: ????*&^&%$$%#*&

Minggu, 03 April 2011

PARSORION NI AMA NI BENGET 1
Bonar Siahaan
Napadot do Ama ni Benget mangula siulaonna jala tung so olo do ibana dililiani angka donganna tu angka na so marbungbung. Di taon do udan dohot Ias ni ari mangula anggiat boi pasikolahon ianakhonna asa unang songon ibana dirohana. Ndang marsikkola ibana ala so adong patupaon ni naturasna pasingkolahon ibana najolo. Sipata manggadis gogo do ibana asa adong hepeng tuboruna dohot anakna si sadasada i. Tung ngalut do di taon napasingkolahon ianakhonna i alai benget do ibana ndang pola dipataridahon tu donganna halojaonna. Ai didok do dibagasan rohana, anakhon i do hamoraon di ahu tung ingkon do singkola satimbotimbona.
Sahat do antang anakna si Benget i marsingkola na timbo jala pintor adong do dapotna karejona na umbuk tu rohana. Songon goarnaa i do ibana benget di ulaonna. Dihilala rohana do loja ni natorasna uju pasingkolahon ibana. Malo do ibana mulaulaon jala malo manubut roha ni donganna. Hatop do ibana dapotan jampalan nalomak huhut godang na marlomo ni roha di ibana.
Dung pungu hepengna ditahi ibana ma naeng mambuat boru laho parsonduk bolonna. Ndang pola maol antong dapotna, ai godang do naboru marsolom roha tu ibana ala ala burju jala godang hepengna. Dibereng ibana boru-boru nauli na lambok pangkulingna jala pangeol ni gontingna songon pangeol ni dengke na mangolu. On ma tahe sininta ni rohakku ai malo ma on manubut rohangku ninna rohana dibagasan. Boru-boru nasininta ni rohana i pe nunga leleng tarpaima rohana anggiat si Henget tungganedolina. Martuptup ma nasida nadua mardongan saripe. Alai dung dipaboa si Benget tu natorasna parbogasonna i, marsak ma ibana, ai boru sileban do hape na naeng parumaenna. Diholsohon tu anakna i: “Boasa ingkon boru sileban disinta roham gabe parsondukmu? Ai holan ho do anakhu, boha ma bahenohu mangangkupi i marsituriak, ai so huboto marhata jau”, ninna Aman ni Benget.
Alai Dialusi si Benget do amana i : “Ndang pola beha i, niajaran pe muse asa diantusi hatanta dohot paradatanta, jala tabahen pe gabe boru ni tulang”.
“Dang pola bahenon i boru ni tulangmu asi sipalensem do songon i jala holan lua ni langka, ndang denggan agohonon jambar ni pangintubu jala papindahon tu na asing holan pajagar ulaon niba. Boha ma molo tu ibotom dibahen halak sileban songon i, ndang metmet roham ?”, ninna Ama ni Benget.
Alai manang boha pe didok ama ni Benget ndang ditangihon si Benget be, ai nunga pir rohana pasaut sangkapna laho mardongan saripe tu tinodo ni rohana i. Gabe hohom ma Ama ni Benget ndang tardoksa manang aha.
Saut do si Benget marboru sileban na margoar si Monica jala maringanan di Huta Sabungan (Ibukota). Di sada tingki ro ma anak ni tulang ni si Benget masihol tu bagas ni si Benget. Sorta do antong nialap ni si Benget i manghatai, alai dang diantusi hata Batak.
Uju laho martapian anak ni tulang ni si Benget i, disarihon si Monica ma haringkotanna : “Bang, ini handuk kalau abang hendak mandi”.
Ala dibege si Benget hata ni tungganeboruna i dipatingkos ma: “Jangan bilang abang karena itu anak tulang saya. Bila hendak memanggil anak tulang saya katakanlah Ito agar sopan”.
“Oh begitu kalau bahasa Batak” ninna si Monica di bagasan rohana.
Dung adong sataon si Benget namardongan saripe, masihol ma ama ni Benget naeng mandulo anak dohot parumaenna i, di tahi rohana ma mangebati nasida tu Jakarta. Saut do antong sangkap ni rohana i.
Ala ni angka siholna be, dang tarpodom nasida ala tabo ni na mangkatai saborningi. Manogotna gabe matasari ma ama ni Benget dungo hinorhon ni lojana dipardalanan. Nunga pola lao si Benget manopot ulaonna holan si Monica parumaenna i nama dijabu.
Hudungoi ma tahe simatuanghon asa serapan ninna si Monica dibagasan rohana. Dituktuk ma bilut ni simatuana i huhut didok : “Ito, bangun ito biar serapan dulu ito, nanti setelah serapan ito akan saya antar jalan jalan”. Diingot hata ni si Benget taringot tu anak ni tulangna ingkon ito do didongkon. Tarsonggot ma ama ni Benget mambege hata ni parumaenna i huhut manderse rohana dibagasan, hudok do tahe na uju i unang boru sileban dioli baeon, hape dituntun do rohana, gabe marlea iba. Muruk ma ama ni Benget tu parumaenna i huhut marbete-bete.
Longang ma si Monica manida simatuana i gabe didok ma muse: “Kenapa marah-marah lto.., kan saya bilang Ito serapan dulu agar saya antar jajan-jalan”.
Lam bobos ama ni Benget mambege hata ni parumaenna i ai ndang diantusi lapatanna, Dung mulak si Benget sian karejona disonggahi ma ibana jala didok ingkon mulak nama ibana. Sai dielek si Benget do nian amana i asa unang pintor mulak, alai sai manggogo do ama ni Benget mandok mulak ibana. Ndang tarjua si Benget be amana i.
Dung sahat Ama ni Benget tu hutana didok ma dibagasan rohana tung na so laho be manopot si Benget ai so tama ripena i mangkuling. Tung Ito dohononna manjou ahu, ninna rohana huhut martutukian. Dirimangi dibagasan rohana halojaonna, marhoihoi laho pasingkolahon si Benget, hape ingkon taononhu ma ndang bolas marsituriak dohot parumaenhu, ninna laos mangandungandung ma ibana : “Ndang si manukmanuk sibontar andora, ndang sitodo turpuk siahut lomo ni roha”.
Nunga marumur 5 taon anak ni si Benget laos so hea dope diida. Las rohana alai dang tardokna manang aha, ai nunga sanga didok di rohana na so tula laho be manopot si Benget dohot parumaenna i. Ro ma surat ni si Benget tu amana asa ro marnida pahompuna i ai sai disungkun ninna didia ompungna. Alai laos didok asa diguruhon amana i hata Indonesia, anggiat boi manghatai dohot pahompuna. Marsak ma ama ni Benget manjaha surat ni anakna i. Bah, naboha do si Benget on hutaon do loja pasingkolahon ibana, hape dung sae ibana hupasingkolahon gabe ahu disuru muse marsingkola.
Alai ala arga ni pahompu gabe saut do diguruhon ama ni Benget hata Indonesia tu dongan sahutnna na tongon adong namarsingkola di SMP. Sai disungka do antong mangguruhon hata Indonesia i anggiat boi ibana manghatai dohot pahompuna dirohana.
Dung dietong nunga malo ibana marhata Indonesia borhat ma ibana manopot si Benget tu Jakarta. Nunga boi au manghatai tu parumaenhu dohot tu pahompungku ninna rohana dibagasan. Las do rohani si Benget antong dung dung ditahi amana i ro jala dibege baritana nunga jala diboto amana hata Indonesia.
Didok ma tu tungganeboruna asa ditomu ama ni Henget di stasiun, ai mansai ringkot nuaeng karejonghu, ninna si Benget. Ndang pola be hape maol amanghon manghatai dohot pahompuna dohot parumaenna ninna si Benget dibagas rohana.
�Mari kesini pahompungku, aku ompungmu”, ninna tu pahompuna i dung disosoi si Monica mandapothon ompungna i. Dung sombu siholna tu pahompuna i jala dipatudu bunga ni rohana, disise ma parumaenna i : “Hai menantuku, sekarang jangan anggap lagi aku orang, sebab kamu pun tidak saya anggap lagi orang”. Sangkapna mandok, hamu parumaenhu saonari unang etong be ahu halak, ai hamu pe ndang huetong be halak. Mamintor tarsonggot ma si Monica mambege hata ni simatuana i huhut menetek iluna. Alai hohom do ibana ndang pola didok manang aha ai dihabiari sotung hansit roha ni simatuana i.
Longang ama ni Benget ala manetek ilu ni parumaenna i. Bah, so marhasoan ahu. Hubahen hata Indonesia manetek ilu ni parumaenhu, antong pahompungku nama dongananhu manghatai ninna rohana laos dijou ma pahompuna : “Kesinilah kau hai cucuku, agar kakek bercerita”, ninna ama ni Benget, Buruju do pahompuna i mangalusi ompungna. Diuji ma laho patorangkon parmuli ni namboruna tu anak ni Siborongborong na margoar si Tumpak Doloksaribu, na maringanan nuaeng di Dolok Masihol.
“Bibimu sudah kawin sama putra si Kumbang-kumbang namanya Sumbang Gunungseribu, tetapi tinggal sekarang di Bukit Rindu”.
Sai longang ma pahompuna i umbege hata ni ompungna i, alai sai ditorushon ompungna i do hatana. Dipaboa ma na so lomo rohana marboru sileban si Benget, alai dang simanukmanuk sibontar andora, ndang sitodo turpuk siahut lomo ni roha.
“Kusangka Bapakmu ini kawin kepada putri Batak dan bisa mengerti bahasa Batak, namun apa boleh buat, tidak si ayam-ayam si putih dada, tidak sesuka hati siambil saja”.
Adnan Membeli Terasi….
December 1, 2008 by Panglatu
Masih ingat Adnan…?! Pria terkocak di kampung kami Simangumban Pahae.
Kali ini Adnan mengunjungi Saudaranya di Kota Pinang, Labuhan Batu.
Kota Pinang adalah persimpangan antara arah ke Gunung Tua dan Padang Sidempuan dengan arah Dumai dan Pekan Baru, melalui Sikampak.
Dengan menumpang Bus SATAHI Adnan berangkat ke Kota Pinang mengunjungi saudaranya yang mengadakan Kenduri Pernikahan Anaknya, Adnan berangkat sendiri karena demi Penghematan Ongkos… maklum saat itu belum musim Panen, sehingga keuangan pun pas pas an saja.
Dengan pakaian yang Terbaik yang dimilikinya Adnan mengatur gaya bicara dan langkahnya, tetapi dasar Adnan Orang Pahae Asli, nggak bakalan bisa menghilangkan logat dan bahasanya.
Adnan yang juga termasuk anggota ISTI (ikatan suami takut istri), Dia mengingat betul pesanan istrinya agar Dia membeli Bolasan, Belacan kata orang Medan, atau Terasi yang berbau aneh tetapi sangat digemari di desa kami, bila ada orang yang membakar Bolasan, seluruh desa akan menghirup aromanya, maklum di Kampung kami Minyak Goreng adalah barang Mewah yang agak jarang di gunakan.
Ada cerita tentang Minyak goreng ini, tentang sepasang Suami Istri yang baru menikah… karena mereka selalu menggunakan Minyak Goreng untuk menggoreng Ikan Asin yang mereka santap, sang mertua langsung menggosipkannya kepada tetangga “Ser do manogot… Ser do potang … andigan ma dabo miduk na mancari on…”
“Ser di pagi hari… Ser di sore hari… kapan akan terkumpul pencahariannya…” maksudnya suara ser… yang ditimbulkan ketika menggoreng sesuatu.
Keesokan harinya seusai Kenduri, Adnan pergi sendiri ke Pasar di Kota Pinang, karena saudaranya masih repot membereskan segala sesuatunya.
Tetapi Adnan bingung, karena dilihatnya tak ada Terasi yang dipajang di depan Toko… seperti kebiasaan di Kampung kami.
Seperti kebiasaan di daerah Labuhan Batu, toko toko biasanya kebanyakan dimiliki oleh pengusaha Keturunan China, di Kota Pinangpun sama saja.
Adnan ahirnya bertanya pada salah satu Toko yang dijaga oleh A Moy, sebutan untuk Gadis keturunan China di Medan, dia bertanya dengan logat Simangumbannya.
“Ito… adakah Bolasan…?!” tanya Adnan.
“Maaf nggak tau aku apa itu Bolasan…” Amoy menjawab bingung.
“Bah… massam mana pulak kau nggak tau… semua orang di Simangumban pasti tau itu…” kata Adnan menekankan.
“Apa..?! Simangumban itu ada di mana… ?! nggak taulah awak…” jawab si Amoy nggak mau disalahkan.
“Ya… tapi masak Bolasan saja kau nggak tau…” sahut Adnan nggak mau kalah.
“Nggak taulah aku… cuba Abang tanyak sama Pak Hansip di pos itu…” Amoy menunjuk Gardu Hansip di pojok Pasar.
“Bah… mana pulak ada urusannya sama Kamra… (Keamanan Rakyat kata orang Simangumban) “ jawab Adnan.
Adnan sedikit Nervous dan ngeri… bukan apa apa… nggak bisa dibayangkannya betapa marah Istrinya Tersayang, Boru Lubis itu bila Dia tidak membawa pesanannya, sebab menurut Istrinya Terasi asal Labuhan Batu rasanya beda… karena berasal dari Sungai Berombang… dimuara Sungai Bilah dan Sungai Barumun… yang penuh dengan udang halus (kecil kecil) yang menjadi bahan dasarTerasi.
Oh ya, Terasi di Rantau Prapat atau Labuhan Batu tidak berbentuk bongkahan seperti di Jawa, tetapi model karungan… berbentuk seperti tanah liat yang empuk, pembeli bebas memesan sesuai kebutuhannya.
“Lebih baik Pulang Nyawa dari pada Gagal membawa Terasi…. “ tekad Adnan seperti Motto pasukan Siliwangi itu.
Dia berpikir keras bagaimana caranya menjelaskan pada si Amoy, bukan Adnan namanya kalau nggak banyak akal dan Banyak Tak tik (BATAK).
Tiba tiba Adnan punya ide yang sangat cemerlang…
Adnan menyusupkan jari telunjuknya kebawah ketiak yang berkeringat saat itu… mengoles olesnya hingga yakin tersapu rata oleh “Ramuannya”, apalagi sejak dua hari yang lalu Dia belum Mandi… karena Sumur satu satunya milik saudaranya selalu sibuk terpakai untuk persiapan acara Kenduri.
Dengan cepat di cabutnya jarinya sambil diacungkan tepat didepan Hidung si Amoy cantik “ ini… yang seperti ini baunya…”
“Oh… Belacan … “ si Amoy menjawab dan langsung membuang muka….
“Ini orang mandinya terahir tahun berapa ya…?!” pikir si Amoy, tetapi karena pembeli adalah raja… si Amoy tetap melayani Adnan, walaupun kali ini Dia agak menjauh…
“Ada… sengaja nggak di pajang di depan… soalnya baunya kurang enaklah… “kata si Amoy.
“Bah… yang bau itu yang paling enak…” sahut si Adnan yang membuat si Amoy mengernyitkan alis.
“Tolong dibungkus lima kilo…” kata Adnan tanpa dosa….
“Beh… ini orang makannya Cuma terasi apa…?! “ si Amoy tak habis pikir.
“Pilih yang paling Bau…” si Adnan memberi perintah.
Amoy…” $%#*@^$….?!”
Pote (Petai) dan Helicopter.
November 4, 2008 by Panglatu
Pote begitu masyarakat desaku Simangumban Pahae menyebut nama Buah ini, Petai bahasa Indonesianya, biasanya dijadikan lalapan saat makan.
Didesaku memakan Pote dan Gulamo (ikan asin) Bakar sudah menjadi menu wajib sehari hari, bila sedang musim Pote, karena buah ini tidak setiap saat ada, musiman istilahnya.

Tetapi apa hubungannya dengan Helikopter…?! ada…!!!

Sudah menjadi kebiasaan para Bapak Bapak disore hari duduk melingkar di halaman rumah, dengan posisi jongkok seperti di Toilet.
Para Wanita biasanya akan berusaha menghindar dari kumpulan ini, sebab kebiasaan para Bapak Bapak yang hanya Marlopes (mengenakan sarung saja) apa lagi jongkok, kadang menampilkan pemandangan yang kurang enak bagi Subang ni Tutur (yang ini agak bingung saya menjelaskannya, mungkin Subang=Pantangan, Tutur=Saudara , jadi subang ni tutur = Pantangan Saudara…?! he…he…).

Pernah suatu kali, Adnan Dasopang laki laki paling kocak di desaku, bercerita tentang sesuatu yang lucu, saking semangatnya dia bercerita ahirnya dia berdiri, setiap kali kumpulannya tertawa Adnan membetulkan letak pecinya dan menggulung Lopesnya di Pinggang, hal ini dilakukan berulang ulang.
Semakin sering digulung posisi sarungnya semakin keatas, kini sudah mendekati daerah terlarang….kini bukan hanya Bapak bapak yang terbahak bahak tetapi Ibu Ibu yang mengumpul di halaman rumah sebelah ikut tertawa sambil nyengir nyengir, tentunya yang merasa Subang ni Tutur (bah…kejebak lagi…) segera melarikan diri.
Semakin semangat si Adnan bercerita…sampai pada saat saat yang kritis, karena sekali gulung lagi mungkin pemandangan akan terkena RUUAP, tiba tiba Mertua perempuan Adnan lewat menuju Masjid….mertuanya pura pura batuk, aneh bin ajaib ternyata Adnan hapal betul suara batuk Mertuanya, meskipun mertuanya ada di belakangnya.
Langsung Adnan berputar menghadap mertuanya, melihat posisi kain sarung Adnan mertuanya berteriak, “Nabursik…nabursik…harom ma dabo na ro on marittik be si Adnan buaton ni porkason…batal ma dabo nasumbayang on..” ( Enyahlah…enyahlah…hal ini haram/nadjis hukumnya sudah gila rupanya si Adnan yang akan disambar petir (bukan Porkas sepak bola)…batal jadinya saya Sembahyang…) mertuanya langsung balik badan grak! Ngacir pulang, siAdnan melongo malah lupa menurunkan sarungnya.

Sebulan kemudian kembali Adnan berkumpul lagi seperti biasa, kali ini dia kapok tak mau lagi berdiri kalau bercerita, sebab kalau duduk kan tidak kelihatan dari jauh…
Adnan sedang asyik mendengarkan cerita Parulian Sitompul, saat dia menoleh ke kanan dia melihat ada kulit Pote yang tergeletak di sampingnya, lantas dia memperhatikan dengan seksama ada tujuh Bangkir (ruang gelembung tempat buah petai) dikulit Pote itu, lima kelihatan terkoyak tanda kosong, tetapi dua ruang lagi tidak begitu jelas apakah ada isinya atau tidak…Dua biji juga lumayan pikirnya.
Adnan mencari kesempatan ketika temannya kurang memperhatikan, dia langsung memencet kulit Pote yang kelihatannya ada isinya itu dengan cepat, takut keduluan temannya, soalnya semua Hoji Pote.

Alangkah terkejutnya Adnan, ternyata kulit Pote itu kosong, yang lebih parah lagi dibawahnya tepat ada Tahi Ayam, tak luput lagi telunjuk Adnan berlepotan Kotoran.
Dengan berpura pura tak ada terjadi apa apa Adnan menyembunyikan tangan kanannya dibelakang pinggangnya, dia mencari akal bagaimana caranya menutupi masalahnya.

Tiba tiba adnan menyelutuk “Jadi Helikopter itu baling balingnya berputar putar seperti ini…” Adnan memperagakan telunjuknya menancap di pasir sambil digerakkan berputar putar membentuk lingkaran, sambil membersihkan kotoran Ayam dari jarinya.
“Dan terbang darisana…” Adnan menunjuk kekiri, sambil mendekatkan jari telunjuknya pada hidung sambil lalu, “sampai kesana…” dia menunjuk ke kanan sambil melakukan hal yang sama seperti sebelumnya untuk mengecek apakah jarinya masih Bau, karena masih sedikit Bau…dia berkata “ baling balingnya itu berputar…” dia kembali menggosokkan telunjuknya di pasir sampai bersih…
Semua teman temannya yang tidak tau persoalan hanya memandang bingung…tak ada hujan tak ada angin koq siAdnan tiba tiba ngomongin Helikopter…?! Jangan jangan dia kena begu ganjang (setan panjang)….satu persatu mereka berpamitan pulang meninggalkan Adnan….

Betulkan ada hubungan Pote dan Helikopter…………bah…hooiii….!!! pada kemana semua…koq pada pergi…………..celingukan he…he…

TURTU NINNA ANDUHUR….

Penulis ; Monang Naipospos

Bangko ni jolma nateal, sai dihatahon do hasurunganna tu donganna manghatai, alai dung ditangkasi, gumodang do na ditambai hatana i. Bangko ni halak nateam, sai didok do mura apala luhut, alai dung jumpang tingkina di tohapna, gapogapo ma ibana songon na mangallang namohop, ngaknguk mandok hatana.

Di halak Batak, tung ringkot situtu do mangaradoti ruhut manghatai, lumobi molo jumpang marloloan. Loloan ni angka raja do didok molo adong punguan jala adong angka na ringkot sihataan. Suang songon i do nang di ulaon paradaton, godang do ruhut siradotan disi songon i nang ruhut mandok hata.

Angka halak nateam, tarida do i di angka pangkataionna na sai jotjot halohotan. Olo do pola diultong donganna hosana asa tingkos nian hata pandohanna i. Isara ni na mandok hata umpasa, olo sipata “patna tu uluna, uluna tu patna”. Narumoa “patna ndang tarida alai uluna tu butuhana”.

Adong ma sipata mandok; “sahat-sahat ni solu ma sahat tu panggabean…..” ujungna natorop patingkoshon. Adong sipata mandok; “eme sitambatua ma parlinggoman ni soborok, sai … sai… sai sinur ma pinahan gabe naniula” emma tutu…. ninna natorop huhut mengkel. Bah..toho do hape nahudok i, ninna rohana. Laos ala ni i ma umbahen sai tean di ibana bangko hateamon i.
Di angka naumposo nuaeng pe godang do marbangkohon hateamon, mangasahon adong dope natumua, disi dope amang tua, disi dope haha ni partubu, ninna rohana, ujungna sai i ma dipangasahon gabe so diboan rohana marsiajar di angka ruhut pangkataion i.

Godang do songon “jolma natungging” nuaeng on tarida. Mangasahon pejabat, pegawai kantor, pengusaha, jotjot ditinggalhon ulaon panghataion paradaton, sipata jotjotan “mandapoti” ma bangkona. Dietong nasida do angka ruhut pangkataion paradaton i pasuda tingki, ndang efektif, ndang positif, ninna be. Mangasahon hamaloonna be ma nasida mambahen tiastiasan di ruhut pangkataion paradaton i. Hasurungan do dietong angka jolma nateam i molo tung so malo pe manghatai paradaton, jala angka natuatua pe dipalumbang do rohana didok; “Ndang hinata tahe, marsingkola do saleleng on, humaliang Indonesia do saleleng on, tu luar negeri do saleleng on, angka jolma sileban do donganna saleleng on”, ninna be, laos ginjang ma roha ni angka napistar i.

Songon i ma ro arina tu Aman ni Aleksander. Leleng di luat naleban do ibana, angka goar ni ianakkonna pe angka goar sileban nama. Hurang “keren” ninna goar Batak i, agan pe si “Bungaran” do goarna dibahen natorasna, asa anggiat marbungaran nian tu desa naualu, jala laos dapot do sinangkap ni natuatuana i di ibana. Pengusaha natardok do ibana, jala nunga dihaliangi ibana portibi on. Di na sahali, tarbobok ma rohana di luat sileban, ala jumpangna sibontar mata malo marhata Batak. Ndang holan i, diboto muse ruhut ni adat Batak dohot marumpasa, na so hea be dilehon rohana tusi. “Bah, tumimbo dope haadongonna sian ahu, hape diboto paradaton ni daompung”, ninna rohana dibagasan.

Marujung ma ngolu ni Ompu Aleksander naung gabe i, mulak ma ibana tu huta asa dipahot adat partuaon ni natorasna i. Tubu ma tu rohana marsiajar tu angka natuatua dung sai dijujui Nai Aleksander, songon dia marhuhuasi, songon dia mangampu hata gabegabe, songon dia mangandehon hata tu dongan tubu dohot lan na asing nahombar tu partota ni ulaon i.

Holsoan do Nai Aleksander sotung halohotan annon sinondukna i mandok hata uju mangampu hata sigabegabe. “Dok ma jolo amang songon dia naung ginuruhonmu uju mangampu hata, jala aha umpasa na hombar tusi”. Dipajojor Ama ni Aleksander ma naung ginuruhonna i dohot umpasa na ampit tusi. “Songon nidok ni umpasa ma dohonon, turtu ma ninna .. ninna…”. “Anduhur”, ninna Nai Aleksander manguduti. Laos diulakhon Ama ni Aleksander ma pajojorhon hata pangampuon i. Ah, nunga denggan be hubege, asal ma unang lupa ho amang da? Olo inang siadopan, alai sai sungguli ahu, asa lam huingot, jala paingot ahu uju mandok hata i annnon”. Olo amang, pos ma roham, alai huhut parrohahon tu ahu asa huhusiphon”, ninna Nai Aleksander.

Ganup adong tingki lumumbang di ulaon i, sai disuhuni Nai Aleksander do parhalanguluna i, hombar tu ruhut pangampuon i. Dihilala do na sipata do halohotan Ama ni Aleksander mangingot-ingot hata ni umpasa i, ala ni i sai lomos ma rohana dung jumpang tingkina annon sotung helhul hatana.

Dung jumpang tingkina pangampuon, jumolo ma boru. Ala naung dihasomalhon, tulus do antong hata ni boru i jala unur umpasa dihatahon, laos mangihut hata mangolophon, emmma tutu, ninna natorop. Tung tabo do tutu begeon. Songon na lam angkadotdot do Nai Aleksander, holsoan di haboion ni Ama ni Aleksander; “Boha ma annon, sotung pailahon”, ninna rohana.
Sahat ma pangampuon tu anak, lam angka girgir ma Nai Aleksander, “humalaholi songon mangan natinagko”, dibereng tu siamun, dibereng tu hambirang, marpaima sude halak jala hohom, lam tarlonggam ma nasida nadua.

Dung dihatahon hata mangampu, boi dope unur dihatahon, alai nunga sai maos diubit Nai Aleksander ibana tu hata ni umpasa, ala ni i lam geno ma pingkiran ni Ama ni Aleksander. Diubit Nai Aleksander ma ibana asa jumolo hata ni anduhur dohononna sian lote, asa unur tu hata parpudi annon. Sai i ma di ingot Ama ni Aleksander, jumolo do “anduhur sian lote” di hata ni umpasa i.
Ujungna didok ma: “Songon hata ni anduhur ma dohonon ……….”
(ide: Ir Sahala Simanjuntak)

i

Jumat, 01 April 2011

SIAMPUDANKU KEMBAR DOHOT JABU PINUNGKA NI AMONGKU


 TUNG SO HULOAS HO INANG LUNGUN-LUNGUNAN TUNG SO HULOAS HO INANG MARHAHURANGAN DANGOL PE DAINANG SITAONONKI ASAL MA BOI SAI HUIDA ENGKEL MI MARHOI-HOI AU DIPARHANCITAN ON HUTAON DO I. 

 


ISTANA AYAH DAN BUNDA (JABU PINUNGKA NI AMONGKU) DOHOT GILING-GILINGKU MARTIGA-TIGA DIHALIANGI BONA NI MANGGA NASO SINUAN NI OMPUNGKU ALIAS TUBU SANDIRI,NDANG POLA DIBABOI, NDANG POLA DI NAPUI.

HAMI NASARIPE DI BALI DOHOT DI PARAPAT






 
TINGKI LAO MARDALANI TU BALI DOHOT INANTA PARDIHOUSE



 

HAMI NASARIPE TINGKI PULKAM TU MUARA BATUBINUMBUN




AHU DOHOT NAMANGALAP AU BORUNI RAJAI BR. PANJAITAN



ROBINSON SIBURIAN (A. VERONICA) DOHOT INANTA SORIPADA SANTA BERLIANA      BR  PANJAITAN NABURJU.